Kami berjalan
menyusuri koridor demi koridor, sebuah kantor berita nasional yang mulai hari ini akan menjadi tempatku
mengais rezeki. Ku perhatikan wanita anggun yang berjalan didepan ku beberapa
langkah dengan masih tidak percaya. Benarkah ini dia.
“Jadi
biasanya tim pemberitaan kalau mengadakan rapat khusus selalu memakai ruangan
ini. Tidak terlalu besar, tapi entahlah, kami terlalu nyaman memakai ruangan
ini, sudah seperti markas ke dua selain ruang kerja. Biasanya Kepala Bagian
Pemberitaan selalu duduk di sudut sana, bahkan itu bukan bagian kepala meja,
beliau memang selalu membaur jika bersama kami, menganggap kami sudah seperti
teman bahkan anak sendiri. Jadi nanti kalau kamu ketemu sama Bapak ngga perlu
takut, raut wajahnya memang menyeramkan tapi berbanding seratus delapan puluh
derajat dengan pribadinya yang supel dan mengayomi” Panjang lebar ia
menjelaskan detail demi detail setiap bagian yang telah kami lewati. Tak
sedikit pun pula aku melewatkan setiap kata yang terucap dari lisan lembutnya.
Masih seperti dulu, tetap ceria dan selalu optimis, terpancar jelas dari setiap
tutur dan gerak ragawinya.
“Jadi hari
jum’at ya Bapak Kepala Bagian Pemberitaan baru mulai dinas lagi? Siapa tadi
namanya?”
“Iya benar hari jum’at. Pak Ridwan Nasution nama beliau, tapi kami selalu
memanggil beliau dengan Pak Iwan. Itu panggilan kesukaannya.”
“Mmhh, sudah
masuk jam istirahat. Kalau mau makan siang kantinnya di tempat yang tadi, masih
ingat jalannya kan?”
“Iya masih,
kamu ngga makan?”
“Aku lagi
puasa, mau sholat aja dulu”
“Mushola nya
dimana? Aku juga sholat dulu aja”
Ya Rabb,
masih sama getaran dihati ini saat didekat dia. Entah sejak kapan pastinya,
namun kupastikan sudah beberapa tahun lamanya rasa itu terpendam kuat dalam
kuburan hati ku. Sosoknya yang sederhana namun penuh cinta, seperti ada magnet
khusus yang membuat setiap orang betah berada didekatnya. Cerdas, berwawasan,
pandai bergaul dan selalu perduli dengan teman-temannya, celah apalagi yang
mampu membuatku berpaling dari gadis seindah dirinya. Ditambah lagi cantiknya
yang selalu tertutup dengan pakaian syar’I setiap hari, mengesankan bahwa ia
bukan wanita sembarangan yang suka mengumbar cantiknya demi mendapatkan
perhatian lelaki.
Aku ingat dua
tahun lalu, saat itu semester enam perkuliahan kami. Tatkala ia datang dengan
begitu anggun, mengenakan dress pink berpadu
warna biru langit yang amat cantik, menambah rupawan paras ayunya. Saat tanpa
segan Ferry, teman seangkatan kami memujinya dengan terang-terangan, “Masya
Allah, Fira cantik sekali” Seketika raut ceria diwajahnya memudar, langkah kaki
yang masih beberapa jengkal menuju tempat duduk disudut ruang tunggu terlihat
bergetar, aku melihat tangannya menggenggam tali tas kian menguat, terlihat
samar seperti genggaman menahan geram. Ia hanya menunduk, tipis kuperhatikan
lisannya melantunkan sesuatu, istighfar. Sejauh ku perhatikan, tak pernah lagi
ia mengenakan drees itu ke kampus.
***
Dua pekan
telah berlalu sejak pertama aku menyandang status sebagai staf bagian pemberitaan
di perusahaan berita milik pemerintah ini. Selama itu pula setiap hari aku
bertemu dengannya, Safira Maya, kawan satu kampus dan kini kawan satu tempat
kerja yang menjadi gadis pujaanku beberapa tahun terakhir. Aku benar tak mampu
mengalihkan sosoknya dengan siapapun, meski setahun berlalu tak ada jumpa,
hanya sekedar saling sapa via grup kelas yang sampai kini masih lengkap
beranggotakan squad kami seangkatan.
Entahlah, dia berbeda, tak mudah tersentuh, dan teguh dengan prinsipnya.
Berbeda dengan kebanyakan gadis lain yang pernah ku kenal. Darinya pula aku
belajar banyak tentang agama, aku tak segan sekedar menanyakan apa yang boleh
atau tak boleh dilakukan oleh seorang muslim terkhusus dalam hal pergaulan.
Gadis itu mengajariku banyak, meski kebanyakan secara diam-diam aku
mencuri darinya. Ideologinya kubaca
melalui kesehariannya selama yang ku kenal, juga melalui profil media sosialnya,
entah status, entah berita yang dia share.
Kekuatannya memegang prinsip sangat mengagumkan. Membuatku juga termotivasi
untuk terus menggenggam prinsipku. Pacaran, yah, setidaknya prinsip terbaikku
sejauh ini tidak ingin menjalin hubungan dengan siapapun yang mengatasnamakan
pacaran. Biarlah jika hatiku telah mantap dan Tuhan telah mengijinkan, akan
langsung ku langkahkan kaki untuk mengetuk pintu rumah gadis pujaan. Safira,
jujur saja dia yang ku harapkan. Namun aku terlalu banyak ketakutan, seperti
tidak mungkin dapat ku gapai sosoknya. Dia terlalu indah untuk kudapatkan,
biarlah lelaki yang lebih baik yang akan menggenggamnya kelak. Namun tanpa
kedustaan, aku tak mampu merelakan itu, meleleh air mataku saat membayang ia
akan bersanding denga lelaki lain dipelaminannya. Bolehkah lelaki itu aku saja?
“Bayu makan
dulu, makanannya sudah siap, tuh mas mu juga sudah pulang”
“Iya bu”
Selalu indah saat kami makan bersama keluarga seperti saat ini. Kebetulan kakak
lelakiku bersama isteri dan keponakan ku yang mungil sedang berkunjung kesini.
Sudah lama rasanya kami tak satu meja makan bersama mas.
“Jadi kapan
rencananya?” Mas Dewa membuka percakapan dengan pertanyaan ambigu, namun ku
tahu pertanyaan itu terarah untukku.
“Rencana apa
mas?”
“Rencana
ngasih mantu buat ibu sama bapak” Sudah kuduga, beberapa kali menghubungiku via
chat kakakku ini selalu tak lupa
menanyakan perihal ‘calon mantu buat ibu dan bapak’
“Nanti pasti
tak kasih kok mas, tenang aja, iyakan bu?”
“Nantinya itu
kapan? Kamu sudah kerja mapan, punya penghasilan sendiri. Buat apa uang gaji
yang numpuk di rekening mu itu, saatnya diinvestasikanlah. Ni lihat mas, sudah
punya dua investasi masa depan, kamu ngga pengen juga?” Mulai deh petuah bijak
keluar dari anak tertua bapak dan ibuku ini. Sedang bapak, ibu dan mba Desi
hanya memilih jadi pendengar yang baik. Baguslah setidaknya tidak ikut-ikutan
memojokkanku.
“Masih
cari-cari lah mas adekmu ini” Timpal mba Desi menengahi
“Kamu ngga
melencengkan?”
“Uhuk uhuk”
“Ibu ngga
papa? Ini minum bu” Mba Desi sigap merespon dengan segelas air putih yang
diberikan untuk ibu.
“Mas,
pertanyaannya tu lho” Tegur isteri kakakku
“Habis adekku satu-satunya ini ngga pernah
sekalipun nggandeng cewek dari dulu”
“Ya, mas kan
tahu prinsipku ngga mau pacaran. Lagian aku masih pengen berbakti ke ibu dan
bapak dulu.”
“Kamu pernah
tanya cara terbaik berbakti ke ibu dan bapak? Kasih mantu yang baik, ya kan
bu?”
***
Hari ini
berjalan cukup melelahkan, setelah hampir lima jam terjun meliput berita
kelapangan, tim kami memutuskan istirahat sambil mencari tempat ternyaman untuk
mengisi perut. Daerah ini terbilang cukup jauh dari perkotaan, agak susah
rupanya mencari makanan halal, mengingat mayoritas penduduk asli daerah ini non
muslim. Setengah jam mencari akhirnya kami menemukan rumah makan halal milik
seorang keluarga perantau.
Suapan demi suapan masuk kemulut
kami, diiringi dengan canda tawa yang membuat hidup suasana. Roy, salah seorang
yang cukup senior namun amat akrab dengan kami semua, dia yang paling kocak
ditim kami, paling tidak bisa membiarkan suasana menjadi senyap, selalu saja
ada bahan candaannya yang membuat kami tak tahan untuk tertawa. Sesekali ku
lirik gadis anggun itu, begitu cantik tatkala wajahnya mengukir senyum, seakan
mentari sedang terbit diwajahnya. Sebenarnya aku tahu sebagai muslim yang baik
untuk harus menjaga pandangan, pun gadis itu pasti tidak suka jika ada lelaki
yang bukan mahram terus memandangnya.
***
“Padahal
menurutku sayang banget lho kamu harus keluar dari perusahaan sebelumnya.
Apalagi katamu orang-orang disana sangat memercayaimu, Bay” karena ditempat kerjaku yang lama ngga ada
kamu fir.
Adduh, aku harus jawab apa dengan
pertanyaannya itu? Masa iya harus jujur jujuran kalau sebenarnya aku nekat
keluar dan melamar ke kantor karena ada dia. Mati lah aku.
“Sebenernya
ini juga keputusan yang berat banget buatku fir, megingat sudah cukup enak
kerjaku disana. Tapi dibalik itu semua ada prioritas lain yang memaksaku untuk
mengambil keputusan.”
“Prioritas
lain? Pasti sesuatu yang penting banget ya sampe kamu berani melepas zona
nyaman gitu, hehehe”
“Hehe, iya fir
penting banget, masalah masa depan soalnya.”
“Wiih, ngeri
ni pake ngomongin masa depan segala. Tapi baguslah, jadi orang itu memang harus
visioner biar kita tahu mau diarahkan kemana hidup kita.”
“Bener fir,
karena hidup ngga cuma sekali, akan ada kehidupan lagi setelah hidup kita
didunia usai. Aku lagi nyari itu sebenernya”
“Maksudnya
dengan ‘nyari itu’ apaan?”
“Maksud ku,
aku sudah tahu mau kuarahkan kemana masa depan ku, pun kehidupan setelahnya aku
harus terlahir kembali sebagai insan yang diridhai Allah. Tapi aku sadar kalau
aku yang penuh keterbatasan ini tak akan mampu mencapai target itu sendirian,
aku butuh teman fir.” Hening sejenak setelah aku menjelaskan maksud ucapanku
yang masih ia bingungkan. Entah karena apa kertas-kertas diatas meja yang
sedang menjadi objek kerja kami tiba-tiba kehilangan urgensinya. Mata kami
bertemu pandang, hanya berbatas lebar meja yang menengahi kami, raut
kebingungan diwajahnya masih tersisa, nampaknya jawabanku masih terdengar
ambigu ditelinganya. Jujur saja jantungku berpacu amat cepat saat ini,
takut-takut salah ucap, atau benarkah aku harus mengutarakan niatku saat ini
juga? Ahh benar Bayu, kapan lagi, ayo sekarang saja, mumpung kesempatannya pas,
dan suasana toh begitu mendukung. Di ruangan hanya kami berdua dan dua orang staf
diujung sana yang tengah fokus dengan pekerjaan mereka masing-masing. Tapi yang
benar saja aku melamar seorang gadis ditengah rutinitas kesibukan pekerjaan
seperti ini?
“Lho belum
selesai?” Suara berat kepala bagian membuyarkan ketegangan dihatiku.
“Maaf pak”
“Ayo cepat
selesaikan, saya butuh segera rekapannya. Fira, kalau bu Endang sudah datang
kamu temani dulu ya, saya ada keperluan sebentar.”
“Iya pak
nanti saya temani bu Endang kalau sudah datang.”
Kami menjadi
canggung setelah kepergian pak Iwan. Entah apakah benar begitu, atau aku saja
yang merasakannya, karena Fira terlihat kembali fokus dengan kertas-kertas itu.
***
Pergolakan
panas dalam hatiku beberapa waktu ini sudah tak terbendung. Aku takut salah langkah
dan tidak dapat mengontrol diri. Mba Desi, wanita lembut nan tegas yang telah
empat tahun ini berstatus sebagai kakak iparku akhirnya menjadi orang pertama
yang aku mintai pendapat terkait masalah ku ini. Bukan tanpa alasan, selain mba
Desi sudah berumah tangga, aku cukup tahu bagaimana kisah perjalanan kasih
kedua kakakku itu. Maka sebagai lelaki yang belum sepenuhnya mengerti hati
perempuan, mba Desi menjadi jawaban tepat untuk sedikit meringankan gundah
dihatiku, ya setidaknya aku berharap seperti itu. Pun, karena aku tahu, sedikit
banyak sosok isteri kakakku yang dewasa dan penyabar itu mirip-mirip dengan
Safira.
“Perempuan
itu ngga butuh macam macam dek, ngga perlu lah numpuk harta banyak-banyak dulu
kalau ada niat baik untuk menikahinya, toh bukankah Allah sudah menjamin rezeki
setiap hamba-Nya, yang penting bisa makan untuk mejalankan ibadah hari ini,
hari esok biarlah Allah yang menjadi jaminannya. Harta yang dikumpulkan
banyak-banyak juga ngga menjamin akan mempermudah segalanya, memang perencanaan
keuangan dalam rumah tangga itu penting, tapi jangan dijadikan alasan untuk
menunda pernikahan, kalau hati sudah mantap, sudah yakin bisa bertanggung
jawab, ya silahkan melangkah saja. Buat perempuan yang terpenting itu lelaki
yang bertanggung jawab, tanggung jawab untuk masa depan mereka, tanggung jawab
ke orang tua dengan menjadi suami yang baik untuk anaknya, terlebih tanggung
jawab ke Sang pemersatu hati. Gimana caranya supaya rumah tangga kalian selalu
berada dibawah keridhaan-Nya.”
“Ayo cerita
aja ke mba, siapa gadis itu? Teman kerja kah?”
“Iya mba
teman kerja, sebenarnya teman kuliah juga dulu”
“Kalau begitu
kamu sudah cukup kenal baik dengannya bukan, kalau dulu pernah satu kampus
juga. Lalu apa yang membuatmu ragu?” Apa yang membuatku ragu? Entahlah, itu
juga yang selama ini mengganjal hatiku. Karena aku tidak tahu, apa yang
sebenarnya membuatku urung untuk segera bergegas.
“Entahlah
mba, Bayu hanya merasa takut terlalu cepat”
“Umurmu
berapa sekarang?”
“Dua puluh
tiga tahun mba.”
“Ahh, dua puluh
tiga tahun apanya yang terlalu cepat? Usia yang sudah cukup matang untuk
membina rumah tangga. Kamu ingat mas Dewa dulu saat menikahi mba gimana dia, masih
dua puluh dua tahun, bahkan kamu lebih mapan saat ini dibanding kondisinya dulu.
Yang mba tahu mas mu itu nekat orangnya, selalu optimis, dan gigih, dia ngga
perduli kan dengan masalah harta atau tetek bengeknya. Itu pula yang membuat
mba yakin untuk menerima sosoknya menjadi pendamping masa depan mba. Kamu tahu
apa yang membuat mba seketika menepis keraguan saat dia mengutarakan maksud
hatinya ke mba dulu? Katanya, dia sangat yakin dengan keputusannya untuk
memilih mba sebagai kawan hidupnya, berharap mba bisa selalu menjadi
penyemangatnya, meski sebenarnya masih banyak tanggungan yang belum ia tunaikan.
Dia pernah berfikir ingin sekali membahagiakan orang tuanya dengan sesuatu yang
menjadi hasil jerih payahnya sendiri sebelum melangkan ke jenjang pernikahan. Ia
masih punya adik yang saat itu baru awal tahun memasuki perguruan tinggi,
dengan kondisi ekonomi keluarga yang seadanya ditambah orang tua yang sudah
sepuh ia tentu tak bisa berharap banyak kepada orang tuanya. Ingin rasanya ia
melihat orang tuanya istirahat dirumah biar dia saja yang menjamin keuangan
keluarga, biar dia saja yang menjamin keperluan kuliah adik laki-lakinya. Dia
sudah berjuang bukan? Gimana kamu lihat gigihnya mas mu itu bekerja, ia sudah
mengusahakan semaksimal mungkin yang ia mampu, pun selalu memberi dari hasil
kerja bulanannya kepada orang tua, tak lupa selalu memberimu uang saku jika ia
gajihan. Ditengah gejolak itu, ia beranikan diri untuk meminta restu kepada
orang tua kalian, bagaimana jika ia menikah, apakah ibu dan bapak sudah
merestui, ataukah mereka ingin melihat mas mu bekerja saja dulu, biar membantu
keluarga, takut kalau beban akan bertambah karena harus menafkahi isteri. Tapi
apa jawab orang tuamu dek, bukan harta kan yang mereka harapkan, tapi
kebahagiaan anak-anaknya yang menjadi prioritas mereka. Apa kamu tega menjadi
pura-pura bahagia padahal hati selalu bergemuruh, secara tidak langsung itu
membohongi mereka bukan, kamu belum bahagia sepenuhnya.”
“Mba,
sebenarnya Bayu ragu dengan diri Bayu sendiri. Namanya Fira mba, Safira Maya. Dia
terlihat begitu jauh, begitu kokoh, bahkan tak tersentuh. Kuat sekali ia
memegang prinsip, kepribadiannya yang selalu optimis dan percaya diri itu yang
membuat Bayu terkesan dengan sosoknya. Ia begitu cantik dengan pakaian
muslimahnya, sangat taat menjalankan agama. Bayu merasa bukan apa-apa jika
harus bersanding dengannya, masih terlalu kekanakan dibanding sosoknya yang
begitu dewasa, begitu anggun dalam menahan emosi. Bayu harus gimana mba”
“Sudah coba
sholat istikharah?” Dengan lemah aku menggelengkan kepala demi menjawab
pertanyaan kakak iparku.
“Coba kamu
sholat dulu, minta Allah untuk meyakinkan hati dek, minta petunjuk terbaik-Nya.
Menurut mba itu hanya alasan yang malah akan semakin meragukanmu untuk
melangkah. Kalau kamu merasa gadis itu terlalu sempurna buatmu, bukankah
seharusnya kamu malah termotivasi untuk lebih giat memperbaiki diri. Kejar
kualitas ibadahnya dengan niat ikhlas mendapatkan keridhaan Allah. Bukankah
yang diharapkan dalam sebuah pernikahan itu barokah dari Allah, itu kan yang
Rasul kita ajarkan, untuk mendoakan setiap pengantin semoga mendapat berkah dalam
pernikahannya. Saling memotivasi dan memberi semangat dalam ibadah akan menjadi
bekal terbaik yang insya Allah akan menuntun kehidupan rumah tangga menuju
sakinah, mawaddah wa rahmah. Pernikahan itu kan untuk saling melengkapi, kamu
mungkin belum sebaik isterimu kelak dalam hal ibadah, namun pasti ia juga
mepunyai kekurangan yang didalam dirimu ialah sebuah kelebihan. Jika kelak
kalian menikah, kamu insya Allah menjadi ladang amal untuknya, bukankah sangat
mulia jika isteri menjadi penyemangat suami dalam ibadah.”
***
Beberapa hari
berlalu sejak aku meminta masukan dari kakak iparku, memang tidak salah curhat
kepada wanita yang telah berpengalaman. Selama itu pula tak ku lewatkan satu
malam tanpa meminta petunjuk dan kemantapan hati dari Allah. Aku sudah bertekad,
dengan semakin yakinnya hati ku. Akhir pekan ini akan ku langkahkan kaki menuju
rumah Safira.
***
Jam menunjukan pukul lima sore,
karyawan lain di bagian pemberitaan sudah bersiap-siap pulang. Aku dan Fira
masih harus menyelesaikan sedikit pekerjaan yang diamanahkan kepada kami.
“Akhirnya selesai juga. Aku capek banget rasanya” Leganya sambil menghela nafas
dan melemaskan pundak. Lelah jelas terlihat diwajahnya, terang saja hampir dua
pekan ini tidak ada hentinya mengejar berita keluar daerah, tidak ada istirahat
akhir pekan. Bagian pemberitaan menjadi poros penting demi berjayanya
perusahaan ini.
“Besok
beneran kamu ikut kelapangan lagi fir?”
“Iya Bay,
Bapak sudah percayain aku buat nge-handle
sesi besok itu jauh-jauh hari. Ngga enak juga rasanya kalau karena alasan capek
aku mundur, toh semuanya juga capek kan, mana ada yang leha-leha disini, ketat
banget kerjaan kita ini.”
“Iya, bener
banget fir, semuanya sibuk”
“Fir”
“Ya?”
“Kok aku liat
kamu masih betah single sih, ngga ada
niatan apa buat menikah?”
“Hahaha, ya ampun Bay, pertanyaan mu itu lho. Siapa sih yang ngga pengen, cuman
jodoh aja yang masih di rahasiakan”
“Mmhh, jadi
masalah jodoh?”
“Aku boleh
minta ijin?”
“Ijin apa?”
Ya Allah, gadis ini pura-pura ngga peka atau sengaja sih. Aku mati-matian nahan
jantung biar ngga copot, ehh malah dia ngga langsung jawab.
“Mmhh, itu
buat.. Aku niat mau ngajak kamu ta’arufan, boleh kah?” Ya Allah, ngga bisa
nafas aku rasanya. Nunggu jawaban yang ngga sampai beberapa detik itu rasanya
sudah berjam-jam lamanya.
Ayo fir
jawab..
“Iya
silahkan” Alhamdulillah, senyum mengembang diwajahku refleks tak bisa ku bendung.
Ketahuan banget berharapnya kalau gini caranya, ahh biarlah, toh memang sangat
berharap.
Akhirnya aku
bisa gentle juga, untuk pertama
kalinya mengutarakan niatan yang membutuhkan tanggungjawab berat kepada seorang
perempuan, semoga ini pun akan menjadi kali terakhir.
“Rumah kamu
masih yang dulu?”
“Iya Bay, aku
ngga pindah kok.”
***
Tiga bulan
berlalu sejak ku sampaikan niat tulus ke Fira. Alhamdulillah berjalan lancar
sejauh ini, tanggal pernikahan kami telah ditentukan sejak kali ke tiga aku
berkunjung kerumah Safira malam itu. Dua Desember 2016 menjadi tanggal yang
telah ditetapkan untuk akad pernikahan kami, hari jumat, yah sejauh yang kutahu
dari sejak kuliah dulu, Fira sangat ingin menikah di hari jum’at. Dan rupanya
akulah yang mampu mewujudkan keinginannya itu.
***
Kini telah
satu bulan perjalanan rumah tangga kami, tinggal bersama orang tua ku, Safira
tak lagi bekerja di kantor, ia lebih memilih membuka usaha yang bisa ia
kerjakan dirumah. Supaya lebih banyak waktu menemani ibu dan bapak, sambil
merealisasikan hobby nya menjahit, isteri tercinta ku itu membuka usaha butik
online.
Sejauh itu pula aku sedikit demi
sedikit tahu tentangnya lebih banyak, rasanya dulu aku sangat penasaran kenapa
ia begini, kenapa lebih memilih itu dan tak sekalipun ku lihat ia pergi ke tempat
ini, ke tempat itu. Akhirnya pula aku tahu bahwa sebenarnya ia juga menyimpan
rasa pada ku sedari kuliah dulu. Terlihat malu saat ia dengan begitu polosnya
mengakui hal itu. Kini aku tahu ternyata ini jawabannya, ku kira dulu saat kami
telah lulus kuliah, ia pasti tidak lama akan langsung menikah, cukup tahu aku
bahwa banyak lelaki diluar sana yang juga
menginginkannya. Namun ternyata aku yang diijinkan Allah untuk menjadi
imam rumah tangganya, untuk menjadi teman sekaligus sosok penggenap separuh imannya.
Ternyata lelaki yang terlalu banyak mengulur waktu ini yang membuatnya menunggu
waktu lebih lama untuk menunaikan sunnah Rasul kami. Maafkan aku Safira, tapi
aku janji akan menjadi yang terbaik untuk masa depan kita, ku mohon bantu aku
untuk menjadi lebih baik.