Bismillahirrahmanirrahiim..
Ternyata
bukan cuma kupu-kupu lho yang
bermetamorfosis, sadar atau engga kehidupan manusia pun seperti itu. Bukan
hanya dari segi biologis manusia yang bertumbuh, namun sifat yang melekat dalam
diri manusia pun ikut berubah seiring berjalannya waktu. Tidak jarang kita
dapati ada orang yang sudah dewasa namun sifatnya masih kekanakan, begitupun
sebaliknya, ada yang usianya masih begitu muda namun sifatnya sudah dewasa
melebihi kawan sebayanya. Banyak sedikitnya lingkunganlah yang membentuk
karakter mereka.
Menjelang eSeMKa
Jalan
Slamet Riyadi di tepian kota Samarinda, pada Juni 2010 ketika sepasang kaki akhirnya
melangkah untuk menengahi pergolakan batin yang cukup panas kala itu. Jaket
abu-abu bersetelan jeans biru telah melekat sempurna pada tubuh seorang gadis
berusia lima belas tahun, itulah saya hehehe. Ini tidak biasa, sebenarnya
sangat malu ketika bepergian tanpa mengenakan jilbab yang sudah menjadi
kebiasaan sejak kecil. Tapi toh kaki
telah melangkah, hati pun meski agak berat telah memutuskan pilihannya. Duuhhh, merinding rasanya membayang
kelakuan labil saya masa dulu.
Ceritanya
waktu itu pas pendaftaran eSeMKa, berbekal alamat sekolah yang telah ditunjukan
oleh paman serta beberapa berkas persyaratan yang sudah saya siapkan, seorang
diri saya melaju menuju sekolah pinggiran yang sangat tidak terkenal itu. Untuk
pertama kalinya dalam catatan sejarah masa remaja, saya menanggalkan pakaian
wajib muslimah itu. Sudah saya pikirkan matang-matang sebenarnya, saya bertekad
tidak akan mengenakan jilbab saat sekolah nanti. Maka jadilah perjalanan
perdana saya ke sekolah waktu itu tanpa berjilbab.
Rahasia
umum nih, kata orang bijak yang
sering saya dengar, dibalik segala sesuatu yang terjadi pasti ada hikmahnya.
Akhirnya setelah sekian lama bertanya-tanya, dapat saya tarik sebuah
kesimpulan, mungkin saja ini cara Allah untuk melindungi saya. Yah, setelah satu hari itu saya nekat,
nekat banget dengan keputusan menanggalkan jilbab. Ujung-ujungnya toh saya tidak tega juga menghentikan
kebiasaan baik itu. Tadinya sih, niat
pengen merubah style dengan
memamerkan rambut cantik saya hihihi. Akhirnya kebiasaan berjilbab saya tetap
saya lanjutkan ketika eSeMKa.
Sekolah Dasar dulu
Saya ajak flashback sejenak ke empat belas tahun
silam ya, waktu itu saya baru menginjak kelas dua Sekolah Dasar. SDN 039
Makroman (sekarang SDN 10 Samarinda), itulah tempat pertama yang mengenalkan saya pada dunia pendidikan.
Saat itu pekan ke dua kami sekolah setelah libur panjang catur wulan. Tepat
dengan matahari yang mulai meninggi, dari luar ruang kelas terdengar celotehan
para orang tua murid bahwa nantinya siswi putri diwajibkan berjilbab.
Seorang teman
sekelas bernama Harmi Ulbandriyah, gadis cantik itulah yang menjadi pionir
sampai akhirnya sekolah mewajibkan siswi putri untuk berjilbab. Jadi,
singkatnya waktu itu dia malu karena rambutnya dipotong pendek, alhasil ia
berangkat sekolah dengan berjilbab. Ternyata, eh ternyata itu malah menginspirasi guru-guru di sekolah kami. Masya
Allah jadi terharu mengingat itu, semoga pahala jariyah selalu mengalir untukmu
ya^^
Awal mula hijrah
Metamorfosis
saya dengan dunia jilbab tidak berhenti sampai disitu. Dan kelanjutan itu
membawa saya pada dunia baru yang tak pernah saya sangka adanya sama sekali. Metamorfosis
yang membawa saya mengerti hakikat sejati fungsi jilbab bagi setiap muslimah,
yaitu sebagai pelindung dan sebagai identitas. Dunia baru itu mengajarkan saya
bagaimana cara berpakaian seorang muslimah yang sesuai dengan aturan agama
(red. syariat).
Metamorfosis di
dunia baru itu berawal ketika saya mengikuti mentoring di kampus, berkenalan
dengan kakak mentor yang mengenakan pakaian muslimah rapi. Walaupun sempat
beberapa kali menolak ajakan kawan kuliah untuk ikut mentoring, tapi dengan
niat baik untuk menjaga diri akhirnya saya bergabung juga. Kalo boleh jujur
awalnya sih karena ngga enak, soalnya
dia ngajakin terus, jadi apa boleh buat coba aja deh itung-itung dapat ilmu toh ngga ada ruginya pikir saya waktu
itu.
Hari demi
hari berlalu, sampai akhirnya saya komitmen untuk terus mengikuti mentoring. Si
kakak mentor yang baik hati pun sering mengajak saya ke agenda-agenda organisasi
yang ia ikuti. Disana saya bertemu banyak kakak-kakak yang berpakaian syar’i. Sebenernya
sempat terfikir kala itu, takut-takut kalau mereka ini mengikuti aliran sesat, widiih serem juga kan kalo saya ikut
terjerumus nantinya. Sempat beberapa waktu berkeliaran difikiran saya, akhirnya
waktu pula yang menjawab bahwa fikiran ngawur
saya tentang aliran sesat itu tidaklah benar. Saya terus ikuti
kegiatan-kegiatan mereka, itung-itung cari tambahan ilmu plus dapat pahala pula.
Entahlah,
saya rasa intensitas interaksi saya dengan mereka ikut mengubah pola pikir
saya. Pakaian syar’i yang senantiasa mereka kenakan tak lagi saya anggap kuno
dan ngga modis seiring waktu berjalan. Malah suatu ketika saya bertekad untuk
bisa menjadi seperti mereka, ingin rasanya menjadi hamba yang taat dihadapan
Allah. Apalagi kalau ingat shalat saya yang masih suka aras-arasen kalo kata orang jawa, jadwal ngaji pun ngga nggenah, belum lagi masih suka
bandel dihadapan orang tua.
First moment
Hari selasa,
jam 10.00 pagi mata kuliah pertama dipekan itu. Mengenakan jilbab paris merah
yang saya double, realisasi tekad
saya untuk pertama kalinya pun terwujud. Agak aneh dan deg-degan juga sih, entah karena apa. Belum lagi pas
teman-teman kelas melihat saya dengan pandangan bertanya-tanya mungkin ya (?). Ahh, bodo amat, bukannya perubahan
selalu mencuri perhatian orang, ehhehe. Alhamdulillah, langkah yang berawal
dari ikut-ikutan karena pengen menjadi lebih baik itu kian hari makin mantap
dihati saya.
Pernah suatu
ketika saat itu hujan deras, dan karena malas mengenakan rok yang ribet apalagi
saat hujan, jadilah saya ke kampus mengenakan celana jeans. Saya kira sudah telat
banget, ehh pas sampai di ruang kelas
ternyata baru ada beberapa orang teman. Belum juga duduk, tiba-tiba ada teman
laki-laki saya menegur “Mba Tina kok tumben pakai celana jeans?” dan dengan
agak bingung saya menjawab “Lho
emangnya kenapa? Biasanya juga begini, kok”
mungkin karena memang saya-nya yang belum paham akibat dari ikut-ikutan syar’i,
hehe. Akhirnya dari situ saya coba untuk lebih berhati-hati kedepannya.
Salah banget
kalo banyak orang bilang kita hijabi hati dulu, barulah fisik-nya. Karena
dengan menghijabi fisik dulu, hati pun akan lebih berhati-hati dalam menyetir jasmani. Paling tidak, kita akan berpikir dua kali kalau mau melakukan
perbuatan tercela. Memang tidak jadi jaminan, kalau kita sudah berjilbab lalu
semua tingkah laku kita akan menjadi baik. Hello,
itu butuh tekad dan perjuangan sista.
Paling engga niat baik kita untuk menutup aurat sudah dapat pahala tersendiri
dari Allah SWT. So, itung-itung
mengurangi tabugan dosa kitalah. Coba deh bayangin berapa dosa yang mengalir
setiap kali kita keluar rumah memperlihatkan aurat kita? Dan lagi, dosanya ngga
cuma ngalir ke kita, tapi ayah dan saudara laki-laki kita juga ikutan dapat.
Tahukan kalau setiap laki-laki itu bertanggung jawab atas aurat perempuan yang
memiliki ikatan dengannya?! Duuh,
jangan deh! Kasian kan ayah yang
sudah capek-capek merawat kita sedari kecil berharap anaknya dapat menjadi
sesuatu dimasa depan, ehh malah jadi
ladang dosa tanpa kita ataupun ayah kita sadari.
Be consistent
Ketika hati
kita mulai tergerak untuk menjadi lebih baik, tak jarang keraguan pun ikut
menyertai. Takut tidak dapat konsisten, takut niatnya hanya musiman aja, entar
kalo udah datang malasnya lepas lagi semua niat baiknya, akhirnya takut di judge sebagai orang plin plan. Istiqomah dalam kebaikan memang ngga mudah,
banyak banget godaannya. Apalagi kalau lingkungan kita ngga mendukung. Tapi
satu hal yang ngga boleh kita ragu, saat kita punya niat baik, apapun itu
langsung saja laksanakan. Karena ketika kita memberikan ruang dihati kita untuk
memikirkan keraguan itu, disaat yang sama kita pun memberi ruang bagi syaitan
untuk membisikan hal-hal yang malah menjauhkan kita dari perbuatan baik. Mau hatinya
dikomandoi sama syaitan, na’udzubillah.
Look around your circles
Ada sebuah
kisah, ehh kok malah kayak lirik
lagu. Yang ini kisah beneran tapi, tepat beberapa hari lalu saat ada taklim di kampus,
mba pematerinya menceritakan kisah seorang kawan kuliah beliau. Anggap saja
namanya mawar (mainstream banget ;D), nah
si mawar ini tadinya seorang yang agamis, dia juga berbusana syar’i. Singkat
cerita, karena teman dekat si mawar bukan orang yang seirama dalam hal fashion
dan tempat nongkrong dengan tabiat mawar. Awalnya mawar yang sering diajak, hanya
ikut-ikutan ke tempat nongkrong temannya, namun perlahan pola pikir mawar juga
ikut-ikutan tergeser. Busana syar’i yang dulunya selalu menjadi identitas
muslimahnya semakin lama kian tergerus dan tak nampak lagi.
Bukan maksud
untuk ngomongin orang nih, semoga
saja kisah diatas dapat menjadi pelajaran, terkhusus untuk saya pribadi. Tuh bener kan, kalau lingkungan itu
memegang andil besar pada pola pikir dan kepribadian seseorang. Kalau kita
belum mampu mewarnai lingkungan kita dengan kebaikan, maka carilah lingkungan
yang dapat mewarnai kita dengan kebaikan. Jangan sedikitpun biarkan celah
keburukan yang mewarnai pribadi kita, apalagi kita memberikan warna buruk pada
lingkungan, dosanya jariyah lho. Ngga
mau kan jadi orang yang merugi hanya karena kita tidak pandai mencari
lingkungan yang baik.
The last (Belajar dari kupu-kupu)
Terakhir,
yuuk mari beranalogi menggunakan kupu-kupu. Tahu kupu-kupu kan? Bukan,
kuliah-pulang-kuliah-pulang ya yang saya maksud, tapi kupu beneran. Nah, coba ingat kembali pelajaran IPA
terpadu kita di eSDe dulu, telur-ulat-kepompong-kupu-kupu.
Berawal dari
telur yang bukan apa-apa bahkan sering terabaikan, metamorfosis sang makhluk
pun dimulai. Melaju ke zona berikutnya sampai berbentuk ulat, si ulat ini
sering dianggap binatang menjijikan oleh manusia. Mungkin si ulat telah lelah
selalu di judge negatif, sampai
akhirnya ia memutuskan untuk mengasingkan diri beberapa saat dalam gua bernama
kepompong. Siapa yang tahu bahwa selama pengasingan diri itu ulat sebenarnya
sedang menjemput hidayahnya, dia belajar, terus belajar. Bahkan tidak
mengizinkan siapapun untuk mengganggunya, sampai dia merasa benar-benar siap.
Setelah yakin ia siap untuk menjadi warna kebaikan bagi lingkungannya, ia
keluar dalam bentuk berbeda, yang memukau mata setiap yang melihat. Ia telah
bermetamorfosis, dan tak mengizinkan dirinya untuk kembali dalam kesesatan. Maka
dia mengazamkan diri untuk mati dalam kebaikan, tetap menjadi kupu-kupu indah
sampai akhir hayatnya. Ya iyalaah, emangnya ada ulat yang udah jadi kupu lalu
balik jadi ulat lagi? Eits, sadar atau engga tapi ada lho, dan ternyata kupu-kupu semacam itu bernama manusia.
Sampai jumpa dipuncak hijrah
saudariku, sayangi dirimu dengan mendekatkan diri pada hidayah Allah SWT J