Bismillahirrahmanirrahiim.
Berbicara tujuh belas
Agustus, tentulah berbicara kemerdekaan. Bangsa Indonesia tepat pada tanggal 17
Agustus 2017 ini terhitung telah 72 tahun menikmati kemerdekaannya. Dalam tanda
kutip ialah kemerdekaan secara de facto dan de jure,
“tapi secara mental ga” begitu ujar salah seorang teman kampus saya. Agaknya
kata “kemerdekaan” yang saat ini negeri kita sandang memanglah belum
merealisasikan makna kemerdekaan yang sesungguhnya.
Masih menurut salah
seorang teman kampus saya yang mengungkapkan aspirasinya melalui personal
chatting mengatakan bahwa, “Indonesia belum merdeka tina, sekarang
penjajahnya adalah para pemerintah yang menjalankan tugasnya tidak dengan hati
namun dengan otak kotor mereka. Karena masih banyak rakyat yang
tertindas.” Wallahi apakah pembaca setuju atau tidak dengan
opini ini, namun saya pribadi merasakan hal yang sama. Degradasi kepemimpinan
menjadi salah satu dinding penghalang untuk mewujudkan kemerdekaan yang
sesungguhnya.
Namun jika berbicara
menganai pemimpin, ada sebuah peribahasa Arab yang sarat akan hikmah yang perlu
kita jadikan cerminan diri, yang artinya kezhaliman penguasa itu disebabkan
oleh kezhaliman yang dilakukan rakyat. Untuk lebih jelasnya dalam sebuah
riwayat, Imam Thabrani meriwayatkan dari Hasan al-Bahsri rahimahullah bahwa ia
mendengar seorang laki-laki mendoakan keburukan untuk al-Hajjaaj (salah seorang
pemimpin yang kejam), lantas ia berkata, “Janganlah kamu lakukan itu! Kalian
diberikan pemimpin seperti ini karena diri kalian sendiri. Kami khawatir jika
al-Hajjaaj digulingkan atau meninggal, maka monyet dan babi akan menjadi
penguasa kalian, sebagaimana telah diriwayatkan bahwa pemimpin kalian adalah
buah dari amalan kalian dan kalian akan dipimpin oleh orang yang seperti kalian.”
Semua hikmah diatas menerangkan bahwa rahim kepemimpinan ialah berasal dari
rakyat. Secara tidak langsung sebagai pemilik bumi pertiwi, kitalah yang harus
mengontrol ingin figur seperti apakah untuk dijadikan pemimpin negeri.
“Jika berbicara mengenai
kemerdekaan, sebenarya tidak hanya berbicara tentang kesetaraan ekonomi,
pendidikan yang merata dan pembangunan.” (Muhammad Risal, Mahasiswa Sastra
Inggris, Universitas Mulawarman). Melihat fakta saat ini, Indonesia tentu saja
masih dalam masa-masa perjuangannya untuk dapat merealisasikan kesetaraan
ekonomi, pendidikan hingga pembangunan yang merata hingga ke daerah-daerah.
Sehingga jika saja tiga poin tersebut menjadi tolak ukur kemerdekaan, hal itu
justeru akan menjadi boomerang yang menyangkal bahwa negeri kita
telah benar-benar menikmati kemerdekaan secara menyeluruh.
Lebih lanjut menurut
Risal, kemerdekaan itu dikembalikan kepada setiap individu. Bagaimana kita
tidak terbelenggu oleh dunia dan isinya, bagaimana kita tidak terbelenggu oleh
gaya hidup yang hedonis, bagaimana kita terbebas dari meniru orang lain. Karena
sejatinya kemerdekaan dimulai dari diri kita sendiri. Bagaimana agar kita bisa
keluar dari tuntutan “gengsi” yang ujung-ujungnya akan menjunjung budaya barat
sebagai kiblat mode dunia, sehingga tanpa sadar itu semua justeru menggerus
nilai-nilai luhur budaya bangsa kita.
Agar
kemerdekaan ini tidak sebatas pada adanya letak geografis tak pula terbatas
pada pengakuan bangsa tetangga, kita harus memulainya dari titik terendah.
Merdekakan diri kita sendiri seperti yang diungkapkan Risal, hingga kelak dari
rahim kita akan lahir pemimpin harapan bangsa, yang tidak hanya memimpin
berlandas nafsu tapi melalui hati nurani. Merdeka bukan sekedar kata sifat yang
telah melekat sejak dibacakannya proklmasi puluhan tahun silam. Merdeka ialah
kata kerja yang masih akan terus berjuang agar tak kehilangan esensi
terpentingnya. Dan sebagai putra putri kebanggaan bangsa, kitalah yang harus
menjadi bagian pekerja-pekerja itu.
_________________________
_________________________
_________________________
Sebelum mulai menulis opini ini, saya
mengadakan riset kecil-kecilan kepada teman-teman kelas saya di Fakultas Ilmu
Budaya, Universitas Mulawarman. Sehingga tentulah, opini ini bukan hanya
bersumber dari pendapat pribadi, namun lebih kepada rangkuman aspirasi mereka,
pemuda/i harapan bangsa.
________________________
________________________
Referensi: Syaikh
Abdulmalik bin Ahmad bin al-Mubarak Ramadhani. Kalian akan dipimpin
oleh orang yang seperti kalian. Media Islam Salafiyyah, Ahlussunnah
wal Jama’ah. Diakses 17 Agustus 2017.

0 komentar:
Posting Komentar