Pernah mendapatkan pertanyaan ini? Atau malah hampir setiap hari? hehe..
Ini model pertanyaan yang hampir selalu keluar dan tertuju untuk kita-kita yang sudah berusia 20-an sekian tapi belum juga nikah! Jadi buat yang usianya sudah mendekati 20 tahun, banyak-banyak baca referensi untuk mencari jawaban yang tepat, seandainya kalian nanti ditanya begini ya.
Hhmm.. ga ada salahnya memang dengan pertanyaan itu, tapi kebanyakan yang ditanya akan menganggapnya sebagai sebuah masalah. Kalau sekali dua kali mungkin biasa aja, tapi coba bayangkan kalau setiap orang yang ditemui menanyakan hal yang sama. Hampir pasti ngerusak mood kan ya.
Aku bukan curhat ya wkwk.. karena so far kalo di tanya begitu yah biasa aja, memang belum waktunya mau gimana lagi. Masa mau mendahului takdir kkkk.. Banyak banget postingan di luar sana, yang seolah anti sama pertanyaan "kapan nikah?" bener ngga sih!
Nah, daripada memikirkan pertanyaan-pertanyaan itu, dan membuat mood makin buruk, ada baiknya kita instropeksi diri. Kalau ada orang yang tanya "kapan nikah?" tanya lagi ke diri kita, "emang aku udah siap buat nikah?"
"Siap" disini seharusnya meliputi segala sesuatu, bukan cuma perkara materi atau wujud calon pendamping, tapi semua hal yang berkenaan dengan "kehidupan" dan juga "rumah tangga".
Tentu saja, kehidupan berumah tangga kan bukan hal sepele yang bisa dengan mudah di anggap enteng ketika menjalaninya. Tidak dapat di deskripsikan seperti mudah dan singkatnya akad yang diucap oleh mempelai pria di depan penghulu dan para saksi (yang selesai-selesai dia udah halal aja >_<). Kehidupan berumah tangga bisa jadi perkara helaan nafas dalam 24 jam sehari, dalam 7 hari sepekan, dalam 30 hari sebulan, dalam 300 sekian hari setahun. Dimana sifat dan sikap kita terhadap pasangan dan juga hal-hal lain yang berhubungan dengan kehidupan berumah tangga, akan sangat menentukan kualitas rumah tangga yang kita bina.
Tapiiii...
Di samping itu, perkara nikah dan kehidupan berumah tangga juga bukan hal mengerikan, sampai-sampai dijadikan momok yang menakutkan bukan?
Jika kita ingin mempelajari kehidupan berumah tangga, tengoklah rumah kita. Lihat orang tua kita yang telah sekian puluh tahun membina rumah tangganya. Lalu tanyakan pada diri kita, sudahkah kita sekualitas seperti saat pertama mereka memutuskan untuk menikah.
Laki-laki, jangan lihat pada kuantitas materi yang kamu miliki jika ingin meminang gadis pujaan. Karena materi bukan segalanya buat perempuan. Perempuan, jangan dibimbangkan oleh sedikitnya mahar yang sanggup dia berikan. Karena lelaki yang banyak harta, tapi miskin akhlak itu ngga bisa jadi jaminan. Aku rasional kok, tetap percaya kalau materi menjadi hal yang cukup penting dalam kehidupan ini, tapi itu bukan segalanya kan.
Perkara materi itu bisa dicari bersama, bisa di usahakan bersama setelah menikah, bahkan akan jauh lebih mudah (ini kata ustadz-ustadz ya, dan aku 1000% percaya) karena pernikahan itu salah satu pintu rezeki. Kata ustadz YM, laki-laki itu kuncinya, perempuan itu gemboknya. Lah kalau yang dipunya kuncinya doang, bisa buat apa? Sebaliknya, pintu bergembok pasti akan di carikan kunci yang pas untuk membukanya.
“Dan nikahkanlah orang-orang yang sendirian diantara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. Dan Allah Maha luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui” (QS. An Nur: 32).
Balik ke poin instropeksi diri, sebelum melangkah ke pernikahan, akan lebih baik kalau kita instropeksi ke internal pribadi kita. Apakah sudah pantas dan layak kalau diri itu menjadi seorang suami. Pernah baca kalau mahkota lelaki itu ada pada tanggung jawabnya. Jadi buat kalian para lelaki, silahkan ukur tingkat tanggung jawab kalian sudah sampai mana. Mungkin saja diri itu masih sering lalai dengan sholatnya, mungkin saja diri itu masih sering abai dengan bakti ke orang tua nya, mungkin saja mata itu masih sering memandang ke yang bukan mahramnya, mungkin saja lisan itu masih sering bertutur yang tidak sepantasnya, mungkin saja telinga itu masih sering di sia-siakan untuk mendengar yang kurang berfaedah, mungkin saja jari itu masih kurang bijak dalam menggunakan smartpone-nya dan kemungkinan-kemungkinan yang lain. Karena kalian sadar pasti, kalau kepemimpinan kalian terhadap isteri dan anak-anak nanti yang akan menentukan bahtera yang di bina. Jadi, apakah sudah pantas untuk menjadi panutan?
Nah, kalau mahkota perempuan, katanya sih ada pada rasa malunya. Kalau aku mendeskripsikan rasa malu disini lebih kepada penjagaan diri terhadap yang bukan mahram. Wanita itu sebaik-baik perhiasan dunia, bukan? Perhiasan mahal tidak sembarang orang yang bisa memiliki atau menikmati keelokannya. Perhiasan mahal sudah sepatutnya di simpan dengan cara yang elegan, setuju? Cara menyimpan perhiasan dengan elegan bukan berarti melulu dengan menyimpannya dalam kotak dan ditutup rapat.
Perempuan, dengan segala potensi yang telah di anugerahkan padanya, sok atuh ikut berperan. Menjaga diri bukan berarti hanya berdiam diri kan? Perempuan halal-halal saja untuk ikut berpartisipasi. Perempuan, mungkin saja memiliki lebih banyak batasan ketimbang lelaki, hanya patuhi saja ketentuan syar'i. Seperti halnya lelaki yang harus menjaga pandangannya, perempuan pun demikian. Seperti halnya laki-laki yang harus bijak menggunakan panca inderanya, perempuan pun demikian.
Rasa malu sebagai mahkota kita perempuan, bukan untuk menjadikan kita pasif dalam berperan. Kalau lelaki memiliki peran tanggung jawab yang besar, bukan berarti perempuan hanya diam menerima hak. Cerdas-cerdaslah mengambil peran, karena kita perempuan adalah penentu bahtera yang sedang dia kayuh. Yah, biarkan saja dia mengayuh sendirian, sedang kita hanya duduk diam memandang. Tapi jangan sekali-kali membuat lubang yang malah bisa menenggelamkan kalian.
Kalau diawal aku menyinggung "kesiapan yang meliputi segala sesuatu", itu bukan berarti saat kita merasa belum siap dari semua sisi, lalu kita mengabaikan hak diri untuk segera memiliki pendamping. Lagi-lagi, berbekal referensi bacaan dan ceramah yang pernah aku dengar, entahlah, kebanyakan muda-mudi jaman now lebih cenderung menunda pernikahan dengan alasan-alasan klasik. Mereka memilih menunda menikah, padahal seandainya mereka mau, mereka bisa, tapi malah lebih memilih menjerumuskan diri ke jurang maksiat. Ini ni yang aku maksud versi alasan klasik.
Para ulama berbeda pendapat mengenai hukum nikah itu sendiri, ada yang bilang nikah itu mubah, nikah itu sunnah dan nikah itu wajib. Ada sedikit kutipan dari Al-Qurthubi semoga bisa menjadi referensi,
“Para ulama kita berkata, hukum nikah itu berbeda-beda tergantun keadaan masing-masing orang dalam tingkat kesulitannya menghindari zina dan juga tingkat kesulitannya untuk bersabar. Dan juga tergantung kekuatan kesabaran masing-masing orang serta kemampuan menghilangkan kegelisahan terhadap hal tersebut. Jika seseorang khawatir jatuh dalam kebinasaan dalam agamanya atau dalam perkara dunianya, maka nikah ketika itu hukumnya wajib. Dan orang yang sangat ingin menikah dan ia memiliki sesuatu untuk dijadikan mahar untuk menikah hukumnya mustahab baginya. Jika ia tidak memiliki sesuatu yang tidak bisa dijadikan mahar, maka ia wajib untuk isti’faf (menjaga kehormatannya) sebisa mungkin. Misalnya dengan cara berpuasa, karena dalam puasa itu terdapat perisai sebagaimana disebutkan dalam hadits shahih”.
Jadiiii...
"Kapan nikah?"
"Ntar kalo sudah waktunya ya"
Eemmhh.. pada intinya, biarkan iman yang menuntun, karena kalau imannya benar insya Allah, Allah sendiri yang akan menuntun setiap pilihan yang diambil dan setiap langkah yang di ayun.
Semangat memperbaiki diri untuk membina bahtera berkualitas surgawi ;)
____________
By the way, dapat ide dadakan buat nulis yang beginian, setelah sore tadi di tanya "sudah ada calon belom?" sama orang yang sudah punya calon -_-


