Dare To Leave It





Terkadang, kita butuh untuk mengerti definisi sebuah kata, karena kita mungkin saja sedang dalam sebuah makna tanpa ada niatan untuk menyadarinya. Kata orang, rindu itu adalah ketika kita masih memikirkannya, meski raga sedang melakukan hal lainnya. Dalam lalu lintas waktu, aktivitas berlalu tanpa nafsu. Rutinitas bagai kesibukan tanpa tujuan. Niat di awal perlahan lenyap bersama lelap. Dan kita kembali diingatkan, jika ingin menyerah pada sesuatu, ingatlah di awal. Bagaimana semangat dan harap kita untuk menggapai apa yang saat ini tengah kita jenuhi. Jenuh yang mungkin saja hanya mampir sejenak hanya karena ada rindu yang mampir dan membisik sunyi.

Rindu, bisa saja menjadi alasan kita kembali pada sesuatu yang kita ingini, kita butuhkan atau dalam makna yang lebih dalam memang kerinduan itulah tujuan kita. Tapi, jika terbatas pada keinginan, tidak memupus kemungkinan jika rindu itu salah tujuan. Mungkin kita butuh alasan lain untuk memperkuat argumen sebuah kerinduan. Agar rindu itu lebih bermakna dan lebih indah terasa saat kita bisa meraihnya.



Kerinduan yang lebih bermakna mungkin saja sebuah rindu yang bermuara pada nilai-nilai keimanan pada Tuhan Semesta Alam. Ketimbang rindu pada makhluk atau suatu cita tanpa dasar yang dibenarkan. Rindu tercipta karena terhalang dinding jarak. Waktu mungkin saja akomodasi utama yang bisa mengantarkan kita untuk menjemput kerinduan itu.



Ada saat kita merindukan keimanan yang lebih baik setelah kita sadar aktifitas yang Kita lakukan terasa hampa. Setelah kita sadar aktifitas harian kita tak ubahnya hanya sebuah rutinitas belaka, tak terselip niat untuk beribadah.  Pun stagnan tanpa penambahan amal.


Ada kalanya kita berbuat baik, namun menghapusnya dengan dosa. Kita bertaubat, namun kita jenuh dengan ibadah. Kita lalai, namun kita rindu pada taat. Kita mendekat, mencoba memperbaiki dan kembali memupuk pahala untuk bekal akhirat. Bertahan dalam kebaikan memang susah, apalagi jika diri hanya sendiri. Jika iman belum layak untuk mendakwahi kawan, padahal kita ingin ia juga merasakan indahnya ukhuwah islamiyah yang Allah janjikan.



Wabah Corona telah tertakdir dalam buku agenda Tuhan. Ia tak ubahnya ujian bagi orang-orang yang beriman ataupun menjadi bencana bagi sebagian lainnya. Hastag #DiRumahSaja bukanlah musuh seorang introvert sepertiku. Karena sejatinya, aku memiliki banyak mau yang menuntut waktu untuk me time dengan cara ku. Kini, aku memiliki lebih banyak waktu dirumah, lebih dekat dengan keluarga, bisa lebih mengerti mereka, terlebih mengerti diriku sendiri dan posisiku dalam keluarga.


#DiRumahSaja membawa kesimpulan berbeda dalam muhasabah ku. Aku meraih makna rindu yang lebih dalam, namun aku butuh pengorbanan yang lebih pula. Meninggalkan zona nyaman, menjadi tantangan yang mungkin saja sulit untuk ku lakukan. Ada lebih banyak tuntutan dan tanggung jawab yang harus siap di emban. Namun, siapa tahu memang inilah jalan yang Allah rencanakan. 


Rabb, izinkan aku memupus jarak, agar rindu itu semakin mendekat. Dengan cara mu..



Dare to leave it…

Menyusun Rindu




Telah ku cari , namun tiada kata yang mampu menggambarkan indahnya
Dan ku yakin, sekalipun beribu sastrawan turut serta mengaduk-aduk diksi dalam kamus bahasa
Genap lima puluh bulan perkenalan ini, telah melukiskan segala kenangan indah
Karena yang indah bukan hanya tentang bahagia
Tapi juga luka, cela, harapan, bahkan kecewa
Yang ku tahu semua itu kembali pada bagaimana diri kita mengolahnya
Hingga luka, cela, harapan dan kecewa,
Mampu menjadi guru terbaik yang mengantar kita pada akhir yang indah
Kelak pada akhirnya, keindahan itu akan selalu memunculkan rasa
Rasa yang memaksamu untuk memikirkannya, meski raga tengah lakukan yang lainnya
Seperti hari-hari yang telah lalu
Mungkin kita tak sadar bahwa sebenarnya kita tengah menyusun rindu






Perjuangan Awal

Sedari kecil aku bertekad untuk bisa bersekolah setinggi mungkin. Niatan itu dalam-dalam ku azzam-kan dalam hati, aku ingin menempuh pendidikan hingga perguruan tinggi. Ketika tiba ditingkat dua belas pendidikan formal, aku mulai bimbang, didalam rumah berkali-kali aku maju mundur untuk mengutarakan niatan ingin lanjut kuliah. Karena aku tahu, jawaban orang tua ku pasti, “tidak usah”. Tapi satu yang selama ini menjadi keyakinanku, selagi belum mencoba, siapa yang tahu Alloh ridha atau tidak. Hingga prinsip itu selalu menjadi pemacu ku pada momen-momen tertentu.


Dan aku percaya, Alloh itu sesuai prasangka hamba-Nya. Setelah ikhtiar sedemikian rupa yang ku lakukan, mulai dari minjam motor teman, berkali-kali kena ‘semprot’ bos di tempat kerja karena terus-terusan izin, ditambah perasaan ragu yang selalu menghujani hatiku “nanti kalau aku lulus tes, bayar SPP pakai uang apa?, lalu biaya semester-semester selanjutnya aku dapatkan dari mana?”. Karena sedari awal pun aku tidak mungkin berpangku tangan pada orang tua ku untuk masalah ini, toh aku sadar sesadar-sadarnya, bahwa alasan utama mereka melarang ku kuliah adalah perkara biaya. Hingga Alloh menjawab do’a-do’a disetiap sujud dan akhir sholat ku. Alloh lembutkan hati mereka, dan akhirnya aku mendapatkan izin itu.


Sampai akhirnya, momen itu tiba. Aku masih sangat ingat, sekitar jam tujuh malam, tidak berselang lama setelah sholat maghrib, layar handphone ku menyala, menandakan satu pesan masuk. Dari teman sekolah ku ternyata,


From Agung: “Ras, kamu lolos tes kah?”
Aku: “Lah, emang sudah pengumuman kah, Gung?”
Agung: “sudah Ras, aku sudah cek.”
Aku: “Kamu gimana, lolos kah? Aku ngga punya paket =_=”
Agung: “Alhamdulillah lulus :D”
Aku: “Selamat ya.. Btw bisa minta tolong cek kan punyaku kah, Gung? Hehehehe xD”


Kurang lebih demikian isi percakapan kami saat itu, sedari pesan pertama yang Agung kirim pun aku sudah deg-degan setengah penasaran. Setelah mengirim username dan password, tak berselang lama, sms dari Agung kembali masuk. To be honest, aku deg-degan banget waktu itu, dan betapa senangnya saat kabar bahagia yang ku peroleh.





Aku lolos..





Ditambah kabar bahagia lainnya yang datang beberpa waktu kemudian. Aku bersyukur sekali saat nama ku  ada di daftar mahasiswa yang lolos beasiswa. Hal itu sangat membuatku lega, setidaknya aku tinggal mikir bagaimana biaya untuk sehari-harinya saja nanti.






Rasa Menjadi Mahasiswa

Jadilah luar biasa dalam kesederhanaan
Karena yang luar biasa bukan mereka yang diagung-agungkan kebanyakan orang
Yang luar biasa adalah hal biasa yang tak banyak orang menyadarinya
Namun ia mampu berdiri istiqomah dengan cahaya kecilnya



Jadwal demi jadwal akhirnya tiba di pelupuk mata. Mulai dari PAMB Universitas, PAMB Fakultas, sampai pada perkuliahan pertama. Ada rasa yang tiada kata bisa mengungkapkannya saat hari-hari pertama itu tiba. Mulai dari bahagia, excited, terharu, takut, entahlah, pokoknya semua teraduk jadi satu, macam adonan kue hehehe.


Aku bertemu banyak teman baru, diperkenalkan dengan civitas akademik kampus, dan beberapa dosen yang kelak akan menjadi guru serta panutanku selama beberapa tahun kedepan. Di hari-hari awal itu pula, banyak pertanyaan seputar dunia kampus yang akhirnya terjawab, meski tidak sedikit yang melenceng jauh dari ekspetasi awalku, dan masih banyak juga yang abu-abu. Namun, dari sekian banyak rasa yang menyerbu kalbu, perasaan bangga tampaknya mendominasi hati kala itu^^






English Zone

Mmhh.. ngomongin bahasa Inggris ya.. Kalau boleh jujur, keputusanku buat masuk sastra Inggris sebenarnya berbekal kenekatan. Dengan standar skill bahasa Inggris yang pas-pasan, aku yang memang sedari awal sudah tertarik dengan bahasa internasional itu, banyak cari referensi tentang program studi ini sebelumnya. Takut saja kalau-kalau ternyata mengharuskan mahasiswanya expert dari awal. Dan ternyata dari banyak artikel yang ku baca, mereka mengatakan bahwa mahasiswa akan benar-benar di ajari dari standar basic. Hal ini membuatku lega, dan semakin mantap untuk menempatkan program studi ini di urutan pertama.



Dan setelah perkuliahan dimulai, aku cukup kualahan mendengarkan dosen yang memakai bahasa Inggris full sebagai pengantar. Ngga full-full juga sebenarnya hehehe. Belum lagi teman-teman kelas yang sudah cas cis cus ngomong English-nya. Jujur saja, sedikit banyak faktor ini juga membuatku minder, namun di lain pihak, justeru menjadi salah satu stimulus agar aku lebih giat lagi belajar.






Anti Organisasi

Di hari-hari awal perkuliahan, aku terus-menerus mensugesti diriku untuk meluruskan niat. Aku takut jika dari awal saja sudah salah niat, malah hanya akan menyia-nyiakan kesempatan berharga ini. Sebagai seorang mahasiswa, tentulah fokus belajar dan mengikuti perkuliahan menjadi prioritas yang tak terbantahkan. Dan itu pula yang selalu aku tekankan pada diriku, “Jangan main-main, Tin”, “Jaga pergaulan”, “Hindari hal-hal tidak penting”. Berulang-ulang klausa-klausa itu ku gunakan sebagai sugesti, dan selalu ku ulangi disetiap waktu.


Fokus belajar dan menjadikan kuliah sebagai prioritas tentulah membutuhkan investasi waktu yang tak sedikit. Karenanya, meski dari awal PAMB ada banyak kakak tingkat yang mencoba menarik perhatian para mahasiswa baru untuk bergabung dengan UKM mereka, aku sama sekali tidak tertarik. Hingga dipertengahan semester dua, akhirnya aku terlena. Tak mampu menolak rayuan beragam organisasi kampus yang amat menggiurkan hihihihi…


Saat itu, April 2014, aku yang belum lama resmi bergabung menjadi pengurus organisasi keislaman di fakultas, memutuskan untuk memperlebar jendela pengetahuan dengan sekaligus mendaftar di dua organisasi universitas. Dan dampaknya, Indeks Prestasi ku di semester tersebut menurun cukup drastis, meski aku bersyukur IP tersebut masih di kisaran angka tiga koma.


Tidak, jangan berfikir aku menulis ini untuk membuat kalian beranggapan buruk dengan kehadiran organisasi kampus. Penurunan Indeks Prestasi yang pernah ku alami itu hanya masalah kurang baiknya aku dalam me-manage waktu. Tapi perlahan disemester selanjutnya aku bisa kembali meningkatkan kualitas Indeks Prestasi dengan tetap aktif berorganisasi.



Mungkin sudah sering kita mendengar bahwa ilmu akademik yang tengah kita geluti hanya akan berperan 20% untuk bisa menjamin kesuksesan kita di dunia pasca kampus, sedang 80% lagi dari mana? Skill individu; kemampuan berkomunikasi, kemampuan bekerjasama, kemampuan menghargai pendapat orang lain, kemampuan managemen diri, kemampuan memimpin, adalah beberapa jawaban dari 80% yang dapat menjamin kesuksesan kita di dunia pasca kampus, setidaknya seperti itulah menurut beberapa referensi yang pernah ku baca.


Dan organisasi kampus adalah salah satu jawaban dari 80% kunci kesuksesan itu. Alhasil, jika awalnya aku sangat anti berorganisasi, sekarang aku justeru menjadi salah satu yang sangat mendukung kuliah sambil berorganisasi.






Pintu Hijrahku

kita semua sama, terpenjara dalam kesendirian
hanya saja,
ada yang terkurung di ruang gelap tanpa cahaya
sementara yang lain menghuni kamar berjendela
-Kahlil Gibran-


Kampus ini, Universitas Mulawarman, tepatnya Fakultas Ilmu Budaya, menjadi salah satu takdir terindah untukku. Ia tidak hanya memberiku ilmu akademik, tidak hanya mengantarkanku pada orang-orang hebat yang menjadi guru serta panutanku. Fakultas Ilmu Budaya ini, tidak pula sekedar memperkenalkan ku pada teman-teman seperjuangan, calon orang-orang hebat di masa depan tapi, kampus ini sekaligus menjadi pintu bagiku untuk mengenal hijrah.


Hijrah, yang dulunya hanya ku ketahui sebagai sebuah kata bermakna perpindahan geografis. Sebuah kata yang dulu sangat ingin aku realisasikan, namun ternyata takdir memberi ku jawaban lain. Takdir menjawabnya dengan kata sama yang tak semakna. Tidak, bukan nama kota Palembang atau pun Yogyakarta seperti yang dulu ku inginkan. Hijrah yang ku kenal saat ini, berjuta kali lipat lebih mempesona. Lebih elok ketika dipandang, lebih harum ketika wanginya hinggap dipenciuman, lebih jauh jarak tempuhnya dan membutuhkan perjuangan berkali lipat dari sekedar mengumpulkan uang recehan untuk terbang menuju kota orang.



Pintu hijrah itu seakan membuka ke-elokan syurga dipelupuk mataku. Karena hijrah itu, telah mengantarkanku pada jati diri yang selama ini ku cari. Melalui fakultas penjunjung budaya ini, aku berproses dalam hijrah untuk menjadi pribadi yang lebih baik, insya Alloh. Ia mengajarkanku untuk selalu mencintai-Nya, untuk selalu menaati-Nya, untuk tidak bertutur kasar pada sesama. Yang ku tahu, hijrah itu ialah ungkapan cinta. Proses hijrah ialah perjuangan cinta. Cinta yang mengantarkan diri untuk mendekat pada Ilahi. Terus memperbaiki diri, memuliakan sesama, ber-amar ma’ruf nahi munkar.






(Terimakasih) Fakultas Taman Syurga

Fakultas ini, tak ayal bak taman syurga, yang menyuguhkan ku beribu kekaguman akan eloknya. Tak hanya elok bidadari penghuninya saja yang menyejukan mata, tak jua hanya sekedar elok pangeran yang turut menghuni dengan paras rupawannya. Yang membuatku tak mampu menangkis haru, kala aku melihat mereka bertutur begitu lembutnya, saling berbagi senyum menawan saat mereka berpapasan, tak sedikit pun ku dengar sumpah serapah yang terlontar, seketika aku ingat bahwa aku sedang berada di taman syurga.  


Aku melihat mereka ceria, saling berbagi canda serta tawa. Menggendong ransel, memeluk buku, itulah yang ku dapati saat mereka berlalu lalang di halaman. Langkahku mengayun menuju sebuah ruangan dengan pintu tertutup rapat. Horden yang menutupi kaca jendela tersingkir kesatu sisi, jendela-jendela itu terbuka dengan masing-masing penyangga disisi kanan dan kirinya. Angin sejuk berebut menyerbu setiap celah yang ada, karena mereka tak ingin kehilangan pahala untuk turut andil memberi semangat kesejukan pada sekian banyak raga yang tengah antusias menimba ilmu. Seorang lelaki di penghujung tiga puluh tahunan tengah mendidik penuh gairah. Ada kesan bangga dari setiap tuturnya, matanya menyiratkan harapan yang membuncah pada sekian pasang mata yang tengah mendengarnya penuh antusias. Aku tersadar saat mataku menitikan haru. Aku tersadar, aku berada ditengah-tengah mereka, baris ketiga, sudut paling kiri.

“Kamu ngga sholat, Tina?”
“Mmhh?” aku tersentak, menoleh kebelakang saat bahuku terasa tersentuh seseorang. Seketika aku tersadar, ruangan ini telah kosong, hanya menyisakan kami berdua. Tangan kanan gadis itu memeluk sepaket perlengkapan sholat wanita.
“Ehh, i.. iya.. aku sholat, tapi.. tadi bukannya kuliah belum selesai?” jawabku tergagap, aku menatapnya kebingungan, sedang ia hanya tersenyum ramah padaku. Tangannya menarik lengan kananku, kami berjalan keluar ruangan. Lengang, sepi, seperti disini tak berpenghuni.


Tiba-tiba saja kami sudah berada beberapa langkah didepan sebuah bangunan megah yang disisi teratasnya tersanggah bulan sabit tengah memeluk bintang. Bangunan itu tak seberapa besarnya, namun nampak bersih, menenangkan, dan serasa ada magnet yang membuat setiap orang selalu ingin berada didalamnya.


Kini aku tahu kenapa suasana disudut lain tempat ini teramat sepi, ya, mereka semua ada disini. Berjejalan memenuhi bangunan mengagumkan berwarna hijau tua ini. Langkahku yang baru menginjak tangga pertama bangunan ini sejenak berhenti, pengeras suara diatas atap biru tua itu bergetar, menyeruakan merdu suara seseorang. Sepersekian detik kemudian penghuni ruangan yang telah suci dari hadats satu-persatu berdiri, saling menyentuhkan kaki untuk merapikan shaf. Gadis yang tadi bersamaku telah berada diantara mereka, terlihat khusyu’, pandangannya merunduk ke lantai peraduan sambil mulut kecilnya melafalkan sesuatu.


Mataku panas memandang keindahan ini, hatiku bergetar seakan teraduk-aduk oleh sesuatu yang membuatku diliputi haru. Aku tersedu, tak mampu menahan laju air mata yang merembes turun membasahi wajahku. Tubuhku terguncang oleh getaran indah yang memeluk kalbu ku.


Ini, aku berada dimana?” batinku menyeruak bertanya..
Dengan asal, ku hapus air asin yang membanjiri kulit wajahku. Aku melangkah bergetar dengan pandangan yang tak dapat diandalkan. Ku percepat langkahku guna segera menjawab keraguan yang ada. Aku membacanya, sederet tulisan bertinta emas yang terukir di sana, Fakultas Taman Syurga..







Berpisah

Kita tak pernah tahu takdir akan membawa kita bertemu
Seperti kita yang tak pernah sadar bahwa kita tengah menyusun rindu
Meski kita paham, setiap yang berjumpa akan menjumpai perpisahan pula
Perpisahan yang ku tahu biasanya akan memupuk haru
Haru yang membuat hati tersapu rasa tak menentu

Perjuangan itu,
Pertemuan itu,
Perjalanan itu,
Proses hijrah itu,
Aku rindu





~Sekian~ 





Awalnya, ide untuk membuat buku antologi ini berasal dari seorang teman. Dia mengajakku untuk membuat buku antologi bersama para “akhwat”. Lalu, seketika aku terfikir, kenapa tidak kami buat juga buku antologi bersama teman-teman kelas. Aku ingin setidaknya kami dapat memberikan kenangan untuk fakultas ini. Seperti kata seorang Mark Levy bahwa "menulis bagaikan merekam jejak-jejak pikiran". Maka jadilah kami bersepakat untuk menulis sebuah buku antologi cross genre, yang kami beri judul "Beranda Kampus Putih".




*****

Berkas lama, sekitar tahun 2017 kayaknya..
Yang sampe sekarang tidak terealisasi haha
Ya sudahlah, aku post disini saja daripada file nya ilang..